Kita bersama, dulu. Aku duduk di sampingmu, kita pernah pula saling berpegangan. Aku melihatmu saat kau menatapku, kita saling meramu tatap. Sesekali ilalang yang menguning menjadi pelampiasan getar hati, tapi kita tetap dengan mata itu. Bahkan pernah dulu, saat aku masih berjuang melawan maut demi buah hati kita, kau datang lalu berbisik, "Ilalang itu terlihat buruk, tak ada kau di sampingku". Wa...jahku memerah, kau memang lihai menyulam senyum di bibirku.
Kini, aku telah ada di rumah, sayang. Ilalang yang biasa menjadi pemandangan indah kita, pun aku tahu masih sama indah. Tapi aku tak dapat melihatnya, bahkan jendela tempat kta biasa duduk menatapnya pun tak pernah ku buka lagi; tak ada kau di sampingku.
Kini, aku telah ada di rumah, sayang. Ilalang yang biasa menjadi pemandangan indah kita, pun aku tahu masih sama indah. Tapi aku tak dapat melihatnya, bahkan jendela tempat kta biasa duduk menatapnya pun tak pernah ku buka lagi; tak ada kau di sampingku.
Aku hanya ingin sederhana dalam mencintaimu : menyediakan sarapanmu, mencium tanganmu saat kau akan berangkat bekerja, mempercantik diriku lalu menanti kepulanganmu, memelukmu dan turut mecium aroma matahari dari tubuhmu, menyediakan air hangat pembasuh peluhmu. Hanya sesederhana itu, duh kau lelakiku, tapi kini aku harus berlapang hati jika semuanya hanya dapat aku lakukan dalam waktu singkat, di mimpiku. Tak bersisa. Semuanya telah kau bawa bersama keindahan fajar. Terima kasih untuk mimpi indah malam ini, lelakiku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.